Saat berada dikota besar,, saya sudah beberapa kali mengalami saat-saat dimana sampah
menumpuk di mana-mana, lebih-lebih di pasar. Ketika mengantar ibu belanja di
dalam pasar, baunya sangat tidak enak sekali. Sampah memang merupakan persoalan
yang sangat sulit diatasi pemerintah, dan kita pun tidak mau tertimpa persoalan
yang tidak enak ini di masa mendatang. Namun dalam kenyataannya jumlah penduduk
kian bertambah dan laju konsumerisme meningkat, yang otomatis akan meningkatkan
laju penumpukan sampah tersebut. Bila kita menganggap hal ini murni urusan
pemerintah karena sudah bayar uang kebersihan, maka kita tidak usah peduli,
atau melakukan demonstrasi saja ke gedung pemerintah jika persoalan ini
terjadi. Namun itu tidak akan memecahkan masalah karena pemerintah sendiri kesulitan.
Yang bisa mereka lakukan adalah membuat TPA baru, namun proses pembuatan itu
seringkali ditentang oleh masyarakat di sekitarnya, walaupun pemerintah
berusaha meyakinkan masyarakat kalau pembuatan TPA itu tidak akan merugikan
mereka. Di samping itu bila kita melakukan demonstrasi, maka sebenarnya kita
sudah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik pemerintahan tersebut.
Hal ini berbeda bila kita menganggap bahwa sampah semata-mata bukan urusan
pemerintah saja. Lebih-lebih bila ingin mendapatkan penghasilan dari sampah.
Bila kita beranggapan seperti ini, maka salah satu cara yang paling mudah kita
lakukan adalah mengkomposkan sampah dapur atau sisa-sisa makanan / masakan yang
organik. Sudah banyak buku-buku yang beredar di pasaran yang menjelaskan bagaimana
cara mengkomposkan sampah rumah tangga sendiri. Bahkan ada pula artikel di
kulinet yang memaparkan teknologinya. Dari sekedar menimbun ke dalam tanah,
membuat biopori, membuat drum biogas, drum kompos aerobik sampai membuat
keranjang "takakura". Bahkan di pasaran juga sudah tersedia drum
kompos komersil. Saya sendiri menggunakannya, dan sampai sekarang tongnya belum
penuh-penuh meskipun selalu saya masukkan sampah dapur satu keresek setiap
harinya (walau saya belum pernah memanen kompos dari situ). Artinya proses
penguraiannya berhasil sehingga bobot sampah organiknya menyusut banyak. Memang
tidak semua sampah bisa dikomposkan, namun bila kita melakukan pengkomposan
ini, "pendapatan" tukang sampah akan benar-benar berkurang drastis.
Menurut teori, bila kita mengkomposkan satu ton sampah organik, maka dalam
waktu 10-14 hari akan diperoleh 400 kg kompos padat dan satu liter pupuk cair.
Ini bila kita menggunakan drum kompos yang statis, bila kita menggunakan drum
yang bisa diputar, bisa lebih cepat lagi. Bila satu kg pupuk organik dihargai
Rp 1000,- , berarti bila kita mengkomposkan 1 ton sampah organik, dalam 10-14
hari kita mendapatkan pupuk kompos padat seharga 400 ribu (belum termasuk pupuk
cairnya). Tentu ada biaya pemasaran, pengolahan, pembelian bahan penggembur
atau mikroba tambahan (bila perlu) dan pengemasan, serta dibutuhkan pula yang
cukup untuk mencacah sampah yang terlalu besar, memasukkan sampah, mengeringkan
kompos yang baru dipanen, memasukkan dalam plastik serta mengirimkannya ke
tempat jual tanaman. Namun bila kita memiliki jumlah peralatan yang cukup, kita
bisa tetap untung. Namun ada beberapa permasalahan bila kita ingin membisniskan
kegiatan pengkomposan sampah organik ini, antara lain :
1. Masalah kesehatan. BIla kita
menggunakan drum kompos komersial atau buatan sendiri yang cukup aerasinya,
maka kita tidak perlu mengkhawatirkan lalat, bau busuk ataupun tikus. Namun
bila kita membuka tongnya, tetap saja bisa banyak lalat yang keluar. Di samping
itu, proses pengkomposan akan menghasilkan banyak sekali gas CO2, hal ini bisa
diketahui dari banyaknya penyusutan massa sampah dari satu ton menjadi 400 kg.
Oleh karena itu sebaiknya di dekat tempat pengolahan terdapat banyak pohon atau
tanaman yang dapat menyerap gas tersebut, meskipun gasnya sendiri tidak berbau.
Dengan demikian kita tidak dituduh meningkatkan pemanasan global.
2. Masalah sosialisasi. Kita
mengolah sampah rumah tangga dengan peralatan yang tertutup dan tidak bau.
Namun bila ada orang di lingkungan kita yang sakit, bisa saja tong-tong kita
yang disalahkan. Karena itu kita harus baik dengan tetangga, memberikan
penerangan yang cukup meyakinkan dan harus mendapatkan ijin mereka terlebih
dahulu sebelum melakukan usaha, termasuk ijin dari RT dan RW. Namun bila
pemerintah sungguh-sungguh hendak menjalankan undang-undang no 18/2008 maka
bukannya menentang, tetangga-tetangga kita malah membutuhkan kita untuk
mengolah sampah mereka.
3. Masalah kuantitas sampah. Bila
kita mengkompos hanya untuk keperluan sendiri saja maka tidak perlu sampah
dalam jumlah banyak. Namun bila kita ingin untung besar, maka kita butuh banyak
bahan baku. Sayang memilah sampah bukan budaya masyarakat Indonesia di
perkotaan. Bahkan bila kita sudah memilah-milahnya, akan dicampur begitu saja
oleh tukang sampah. Dan kalau sampah sudah terkumpul di tempat pengumpulan,
untuk memilah-milahnya butuh usaha yang berat. Orang hanya berpikir untuk
membakarnya, walaupun membakar sampah organik dengan plastik itu menimbulkan
senyawa dioksin yang berbahaya untuk kesehatan. Atau, mengirimkannya begitu
saja ke TPA. Namun bila tempat tinggal kita dekat hotel, maka hal ini bisa
menguntungkan kita, sebab hotel memang sudah diwajibkan untuk memilah sampah
mereka. Dengan demikian dengan lobby yang baik, kita bisa mendapatkan biomassa yang
kita perlukan, bahkan malah dibayar.
4. Masalah pemasaran. Untuk sampah
dapur sendiri kita tidak perlu memikirkan pemasaran karena kompos yang
terbentuk hanya sedikit, namun bila kompos yang terkumpul sudah cukup banyak,
maka tentu harus dijual. Kita bisa menjual ke tukang tanaman, atau ke
perusahaan yang mengumpulkan kompos dari rumah tangga (di bandung sudah ada).
Bahkan bila kita sanggup memproduksi kompos dalam skala ton dan punya koneksi,
kita bisa menjualnya langsung ke perkebunan.
Demikian tulisan saya. Saya sendiri belum terjun dalam bisnis ini, namun bila
memungkinkan akan bergerak ke arah sana. Setidaknya, sekarang sudah bisa
mengurusi sampah dapur rumah sendiri.