WELCOME

Kamis, 12 Januari 2012

BAHASA DAN BUDAYA PADA ASPEK SINKRONISASI



Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki banyak bahasa daerah yang tersebar di pelosok tanah air. Bahkan menjadi salah satu bangsa yang memiliki jumlah bahasa ibu terbesar di seluruh dunia. Jumlah bahasa pribumi itu mencapai 360 bahasa. Tentu prestasi itu tidak serta merta menjadi penyebab banyaknya warga negara asing yang mengacungkan jempol bagi bangsa kita. Belum lagi familiarnya dengan kesantunan berbahasa ala Sunda.

Mungkin Anda, bahkan semua orang di negeri ini pernah mendengar pemimpin bangsa berpidato dengan bahasanya yang khas. Sebut saja Soekarno atau presiden baru kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Beliau pernah menerima penghargaan sebagai pejabat yang menggunakan bahasa paling santun se-Indonesia pada tahun 2003. SBY patun menjadi teladan bagi para pejabat di negeri ini yang senang berkoar-koar di hadapan publik. belum lagi gelar yang disandang sebagai wakil rakyat yang memang mengharuskan mereka berbahasa yang baik dan yang lebih penting bukan sekadar retorika tanpa makna.

Bahasa yang santun... di manapun kita berada menjadi salah satu modal yang sangat penting dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Komunikasi dengan orang di sekitar kita, entah pribumi ataupun warga negara asing. Kesantunan berbahasa menjadi mutlak kita perlukan.Kalau kesantunan berbahasa yang syogyanya dimiliki oleh semua orang pada semua kelas atau level, maka menjadi tugas bersama untuk menjadikannya sebagai ciri khas bangsa yang benar-benar terealisasi. Sehingga, para tourist yang datang di Indonesia tidak hanya merasa bahwa kesantunan berbahasa yang kita gunakan bukan hanya sekadar terori yang dibuat-buat atau sekadar rekayasa berbudaya.

Budaya dan Berbahasa

Budaya kita populer dengan keragaman dari aspek kesenian. Sedangkan bahasa kita populer dengan keragaman dari aspek kedaerahan. Kalau keragaman berbahasa yang pada intinya harus sinkron dengan cara kita berbudaya, maka akan sepertinya menjadi sesuatu yang sulit tercapai. Mengapa? Apa jadinya kalau masyarakat Bugis-Makassar yang kental dengan kasarnya budaya berbahasa, harus menyesuaikan diri dengan gaya berbahasa masyarakat sunda yang lebih halus, lebih lembut. Maka, solusinya adalah.. mengembalikannya sesuai kesantunan kita berbahasa yang sesuai nilai-nilai atau norma konvensional dalam masyarakat kita. Mengapa harus susah-susah melipat lidah kalau budaya berbahasa kita kasar atau lebih lembut. Bukankan kesantunan dalam berbahasa dan berbudaya itu terletak pada.. bagaimana kita mensinkronisasikan keduanya hingga dapat diterima dengan baik dan bijak oleh masyarakat luas.

Jayalah bangsaku. Kita ini bangsa yang memiliki budaya sendiri. Ditambah nilai plus dari keragaman bahasa yang khas. Tunjukkan bahwa kita bukan milik orang lain.. atau pun sekadar klaim yang tidak berdasar.